Kegagalan Partai Politik
dalam Rekruitmen Politik
Partai Politik merupakan
kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan
dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan
mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan memlalui pemilihan umum guna
melaksanakan alternatif kebijakan umum yang telah tersusun dalam partai.
Alternatif kebijakan umum yang disusun ini merupakan hasil pemaduan berbagai
kepentingan yang hidup dalam masyarakat, sedangkan cara mencari dan
mempertahankan kekuasaan guna melaksanakan kebijakan umum dapat melalui
pemilihan umum dan cara-cara lain yang sah.
Keberadaan
partai politik di tengah masyarakat akan mendapat dukungan apabila partai
politik tersebut menjalankan fungsi-fungsi partai politik. Partai politik
memiliki fungsi dalam sistem politik antara lain: 1) sosialisasi politik, 2)
Rekruitmen politik, 3) Partisipasi politik, 4) Pemadu kepentingan, 5)
Komunikasi politik, 6) Pengendalian konflik, dan 7) Kontrol politik.
Fungsi-fungsi partai politik tersebut sering tidak diindahkan oleh partai
politik sehingga citra partai politik ditengah masyarakat menjadi hanya sekedar
alat bagi orang-orang yang haus akan kekuasaan. Walaupun itu tidak salah tetapi
hendaknya partai politik dapat membangun kedewasan politik rakyat sehingga arah
dan kebijakan politik dapat dipahami rakyat. Cukup disayangkan ketika hasil
beberapa survey menunjukkan rendahnya kepercayaan rakyat terhadap partai
politik seperti survey yang dilakukan LSI, Kompas, Media Indonesia dll.
Faktor yang cukup signifikan
untuk meningkatkan kepercayaan pada partai politik adalah rekruitmen politik.
Rekruitmen dianggap penting karena partai politik adalah infrastruktur politik
yang memproduk elit-elit politik. Partai politik dapat dikatakan sebagai
institusi yang secara formal melakukan proses sosial politik lahirnya
elit politik. Emile Durkheim (dalam Anthony Giddens, 1986: 118-145) menjelaskan
bahwa sebab-sebab suatu gejala sosial yang dapat menjadi proses lahirnya sebuah
elit atau pemimpin terdiri atas 2 macam: (1) sebab-sebab ateseden, dalam hal
ini elit harus dipelajari sebagai perluasan dari kasta penguasa, aristokrasi,
dan kelas-kelas penguasa yang menurut sejarah mandahului mereka, (2) sebab yang
mengiringinya kekuatan-kekuatan yang terus beroperasi dan mejalankan
pengaruhnya. Dalam hal ini, elit harus dipelajari dalam hubungan dengan
kekuatan-kekuatan sosial yang mendorong perkembangan sosial. Indikator kedua
dari durkheim tersebut menunjukkan pentingnya penguatan rekrutiemen politik
oleh partai politik.
Dalam melakukan rekruitmen
politik, partai politik juga perlu dilakukan secara elegan dan transfaran.
Sebab di samping perkembangan politik yang semakin maju juga kekuatan-kekuatan
politik masyarakat telah berkembang pesat sehingga partai politik dapat
menampung seluruh elemen kekuatan-kekuatan strategis dimasyarakat. Suzanne
Keller (1995: 87) yang menjelaskan bahwa golongan elite berkembang disebabkan
oleh empat proses sosial yang utama: (1) pertumbuhan penduduk, (2) pertumbuhan
spesialisasi jabatan; (3) pertumbuhan organisasi formal atau birokrasi; dan (4)
perkembangan keragaman moral. Dengan berjalannya keempat proses itu, kaum elite
pun menjadi semakin banyak, semakin beraneka ragam dan lebih bersifat otonom.
Teori Keller di atas menunjukkan
bahwa kekuatan-kekuatan sosial politik masyarakat telah menyebar sedemikian
rupa sehingga menuntut elit partai untuk membuka sistem kepartai secara terbuka
sehingga elit-elit tersebut dapat berkiprah optimal dalam politik melalui
partai politik. Tidak bisa lagi membentuk partai secara tertutup secara
ideologis atau lapisan masyarakat seperti yang terjadi di era sebelumnya
sehingga muncul istilah politik aliran. Pada masa Orde Lama, PNI sebagai partai
priyayi, Masyumi sebagai partai santri dan PKI sebagai partai wong cilik.
Begitu juga pada masa orba, Golkar sebagai partai priyayi, PPP sebagai partai
santri dan PDI sebagai partai wong cilik.
Di negara-negara berkembang,
seperti halnya Indonesia, di mana tradisi kepartaian belum berjalan kuat,
rekrutmen politik seringkali terjadi hanya dalam satu atau beberapa kelompok
tertentu dan biasanya berlangsung dengan pola-pola patronase. Pola ini
merupakan bagian dari sistem penyuapan dan korupsi yang rumit yang merasuki
banyak bidang kehidupan masyarakat. Namun dianggap sebagai pola yang paling
mapan tetapi dapat melahirkan perekrutan politik yang tidak cocok baik secara
politik maupun diukur dari kemampuannya.
Dengan pola seperti inilah
perkembangan partai-partai politik di Indonesia menjadi kurang berkembang dan
tidak dapat menjadi pemadu berbagai kepentingan politik. Padahal perkembangan
politik di Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak
jatuhnya rejim Orde Baru. Perubahan-perubahan politik belum diiringi dan
disertai dengan perubahan kultur politik dalam partai politik sehingga hal itu
membawa tersendatnya perubahan perilaku politik dan etika politik bangsa.
Pada Pemilu 2009 merupakan
pemilu dengan sistem proporsonal terbuka dan berimbang. (UU NO.10 Tahun 2008).
Dengan sistem pemilu seperti itu, Partai Politik yang memiliki peluang besar
untuk tetap eksis adalah yang memiliki dua (2) sumber kekuatan politik. Pertama
adalah kebesaran partai itu sendiri dan kedua, memiliki tokoh-tokoh populis.
Apalagi dengan ada ketentuan ambang batas perolehan suara sebesar 2,5% secara
nasional, dimana apabila salah satu partai politik tidak mencapai jumlah ambang
batas maka perolehan suaranya tidak dihitung menjadi perolehan kursi. Yang
dihitung perolehan suara menjadi kursi legislatif adalah partai yang memperoleh
jumlah suara minimal diambang batas.
Secara teoritik dapat diukur
partai-partai yang memiliki Kebesaran Partai politik antara lain adalah
pertama, partai politik yang berkoalisi atau berbasis dengan kekuatan-kekuatan
strategis seperti ormas, aristocrat local, birokrasi dan kelompok-kelompok
bisnis. Partai politik yang memiliki sumber daya tersebut antara lain Golkal,
PPP, PDIP, PKS, Demokrat, PAN, PKB. Kedua, partai yang akan eksis itu adalah partai
yang memiliki tokoh-tokoh populis. Tokoh-tokoh populis tersebut bisa berangkat
dari intelektual, agamawan, militer, penguasa, dan seniman (artis).
Sumber-sumber populis tersebt juga hampir dimiliki oleh partai-partai yang
disebutkan di atas. Oleh karena itu sebenarnya Undang-Undang Partai Politik No
2 tahun 2008 atau UU Pemilu NO. 10 tahun 2008 memberikan peluang besar
mendirikan partai politik tetapi mempersempit untuk mendapatkan kursi dan
kepercayaan rakyat kecuali bagi partai memiliki sumber-sumber kekuatan politik
di atas.
http://www.kompasiana.com/fauzan.ali/transisi-kepemimpinan-nasional_550d4ac0a33311e11a2e3a32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar